Waktu

30 Agustus 2008

Tinjauan Umum Konflik Agraria antara Rakyat Riau Versus PT Arara Abadi

Oleh:Serikat Tani Riau
Pendahuluan

Serikat Tani Riau memandang bahwa kenyataan-kenyataan ekonomi secara nasional, negara kita masih terbelenggu oleh ketergantungan yang sangat besar dari pemodal asing yang bahkan secara kasat mata bisa kita lihat bersama dengan adanya penguasaan besar-besaran seluruh aset kekayaan alam negara kita –terutama di sektor tambang, oleh perusahaan-perusahaan asing yang jelas berkepentingan mengeruk sebanyak-banyaknya keuntungan dari hasil kekayaan alam kita yang besar ini. Misalnya saja Exxon Mobil Oil, Freeport, Petro China, Rio Tinto, Newmont dan beberapa perusahaan asing lain yang menguasai hampir 80% industri hulu pertambangan dan migas di Indonesia dengan hak eksploitasi (kontrak karya) yang waktunya puluhan tahun –bahkan ada yang mencapai 100 tahun dan mengambil keuntungan 90% dari total keuntungan bersih US$ 10 Milyar per tahunnya atau sekitar US$ 9 milyar dibandingkan dengan sisa US$ 1 Milyar per tahun untuk jatah dalam negeri yang masih harus dibagi antara Pemerintah dan Industri Tambang-Migas Dalam Negeri. Inilah jawaban dari kecilnya pendapatan sektor tambang dan migas dalam APBN (ataupun APBD) yang hanya berkisar US$ 1,2 – 1,7 Juta per tahunnya. Dari kecilnya pendapatan inilah, pemerintah selalu menggunakan alasan ini untuk terus mengambil hutang luar negeri sebanyak-banyaknya untuk menutup anggaran belanja negara (atau daerah) yang jumlahnya mencapai US$ 162 Milyar dan akan bertambah dengan rencana pemerintah untuk kembali mengambil hutang sebesar Rp. 2,8 Trilyun atau sekitar US$ 210 juta pada APBN-P 2007. Hal inilah yang kemudian berakibat pada sedikitnya alokasi pembiayaan subsidi bagi kebutuhan rakyat banyak (Pendidikan, Kesehatan, Pertanian –kredit usaha tani, pupuk, bibit, teknologi produksi dll, Perumahan dll) karena alokasi pembiayaan yang paling besar hanyalah untuk membayar bunga dan cicilan pokok hutang yang rata-rata mencapai hampir 30% dari APBN. Konsesi hutang ini biasanya diberikan dengan perjanjian investasi industri asing yang menghancurkan industri dalam negeri kita karena kalah dalam persaingan modal. Hancurnya industri dalam negeri inilah yang kemudian berakibat pada semakin banyaknya perusahaan-perusahaan dalam negeri yang tutup, dan menambah deretan panjang jumlah pengangguran serta menyempitnya lapangan pekerjaan. Hal inilah yang kemudian memicu jumlah ekspor TKI ke luar negeri, tingginya angka kriminalitas, konflik sosial horizontal. Daerah pedesaan yang didominasi oleh basis produksi pertanian juga semakin tidak berkembang (kalau bisa dikatakan semakin hancur) yang dilihat dari penurunan angka pertumbuhan sektor produksi pertanian dari 6,4% pada triwulan I tahun 2006, menjadi 5,9% pada triwulan I tahun 2007 (atau minus 0,5% dalam setahun). Walaupun menurut BPS, indikator makro ekonomi pertumbuhan sektor pertanian kita menunjukkan hal yang menggembirakan dengan PDB (Pendapatan Domestik Bruto) tahun 2006 tumbuh 4,12%, penyerapan tenaga kerja sektor pertanian naik 2,97% pada tahun 2005, serta angka ekspor hasil produk pertanian meningkat 20,41% pada tahun 2006 melalui program LUEP (Lembaga Usaha Ekonomi Pedesaan), ternyata tidak mempengaruhi tingkat kesejahteraan kaum tani secara umum. Data BPS tersebut secara makro ekonomi mungkin memberikan gambaran yang menggembirakan bagi kita –kaum tani Indonesia, akan tetapi ternyata gambaran makro ekonomi tersebut tidak berpengaruh pada NTP (Nilai Tukar Petani) yang juga menurut BPS malah menurun pada tahun 2006 hingga sebesar 15,55% yang disebabkan oleh kenaikan biaya produksi pertanian yang semakin besar setiap tahunnya (mulai lahan –yang terus menyempit karena konversi lahan produksi pertanian menjadi lahan rekreasi, perdagangan dan jasa yang bisa dilihat dari data jumlah petani tak bertanah menjadi 49,5% dari 48,6% dari tahun 1995 hingga 1999 di Jawa dan 18,7% dari 12,7% di luar Jawa—yang menyebabkan banyak konflik tanah antara masyarakat dengan perusahaan-pemerintah, kredit usaha tani, pupuk, bibit, harga pasar, dll) hampir 200% kelipatannya dari biaya produksi sebelumnya dengan indeks harga yang dibayar petani lebih tinggi 1,17% dibanding indeks harga yang diterima petani sebesar 0,86% pada tahun 2006 yang disebabkan naiknya harga BBM dan Gas yang telah dijual pada perusahaan asing (privatisasi). Angka-angka inilah yang membuktikan bahwa tingkat kesejahteraan kaum tani Indonesia terus merosot dari tahun ke tahun. Rencana pemerintah untuk membagikan tanah seluas 8 juta hektar lebih dalam Program Pembaharuan Agraria Nasional (PPAN) atau Landreform Plus juga masih samar-samar dan belum jelas arahnya, apakah prioritas utamanya adalah menyelesaikan sengketa pertanahan untuk kepentingan kaum tani ataukah hanya siasat baru dalam me-legalkan penjualan tanah/lahan bagi kepentingan perusahaan-perusahaan modal asing? Atau hanyalah sekedar memindah kaum tani tak bertanah menuju daerah2 transmigrasi baru? Karena ketidak jelasan inilah, maka kita harus mengawal dan mendorong maju PPAN agar dijalankan secara benar untuk kepentingan kesejahteraan kaum tani –utamanya dalam arah penyelesaiaan sengketa agraria selama ini.
Penguasaan yang sangat besar kekayaan alam negara kita oleh industri-industri modal asing, hingga berakibat pada ketergantungan yang sangat besar terhadap hutang luar negeri menyebabkan kecilnya pembiayaan ekonomi negara pada kebutuhan masyarakat secara umum –dan kaum tani khususnya, dalam sektor pendidikan, kesehatan, perumahan, pertanian dan lainnya yang membuat kompetisi/persaingan sumber daya manusia terdidik dan produktifitas nasional menjadi lemah dan tidak seimbang dihadapan para penjajah modal asing ini. Semua hal ini bisa terjadi dengan peran pemerintah dan elit-elit politik di parlemen yang dengan sadar membuat aturan-aturan (seperti UU PMA tahun 1967, ditambah UU Migas 2001, Perjanjian Perdagangan Bebas –ternasuk hasil produksi pertanian di WTO yang berakibat pada membanjirnya produk hasil pertanian impor, hingga yang terakhir UU Penanaman Modal 2007) yang memberikan jalan mulus bagi penjajah modal asing ini untuk semakin masuk hingga langsung ke desa-desa melalui UU Otonomi Daerah Tahun 1999 untuk lebih bebas dan brutal mengeruk kekayaan alam negara kita dan memperbudak rakyat Indonesia di bumi pertiwi-nya sendiri. Kemerdekaan bangsa kita yang belum lama ini kita peringati, menjadi tidak lebih hanya upacara formal yang dilakukan setiap tahun tanpa kesadaran yang memperlihatkan bahwa kita saat ini lebih terjajah oleh modal asing dibandingkan dengan penjajahan fisik-kolonial sebelumnya dan bersama-sama merumuskan bagaimana jalan keluar mengatasi penjajahan modal asing selama ini.
Mengenai konflik Agraria di Indonesia diketahui bahwa, Permasalahan yang bermula dari rapuhnya pelaksanaan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) tahun 1960, hingga kepada pemberian tanpa batas hak pengelolaan lahan dan sumber daya alam yang terkandung di dalamnya kepada pemilik modal atau kasarnya, Negara tidak mampu menegaskan batas maksimal penguasaan lahan – tanah – yang boleh dikuasai atau dikelola. Ketidakjelasan tersebut didukung dengan buramnya sistem administrasi pertanahan sehingga sebidang tanah pun bisa dimiliki oleh 2 hingga 3 orang. Menurut Konsorsium Pembaharuan Agraria, mereka merekam sekitar 1.753 kasus konflik agraria struktural, yaitu kasus-kasus konflik yang melibatkan penduduk berhadapan dengan kekuatan modal dan/atau instrumen negara. Dengan menggunakan pengelompokan masyarakat dalam tiga sektor, seperti dikemukakan Alexis Tocqueville (1805-1859), konflik agraria struktural dapat dinyatakan sebagai konflik kelompok masyarakat sipil "melawan" dua kekuatan lain di masyarakat, yakni: sektor bisnis dan/atau negara.
Sejak 1970 hingga 2001, seluruh kasus yang direkam KPA tersebar di 2.834 desa/kelurahan dan 1.355 kecamatan di 286 daerah (Kabupaten/Kota). Luas tanah yang disengketakan tidak kurang dari 10.892.203 hektar dan mengorbankan setidaknya 1.189.482 KK.
Kasus sengketa dan/atau konflik disebabkan kebijakan publik. Konflik yang paling tinggi intensitasnya terjadi di sektor perkebunan besar (344 kasus), disusul pembangunan sarana umum dan fasilitas perkotaan (243 kasus), perumahan dan kota baru (232 kasus), kawasan kehutanan produksi (141 kasus), kawasan industri dan pabrik (115 kasus), bendungan dan sarana pengairan (77 kasus), sarana wisata (73 kasus), pertambangan besar (59 kasus) dan sarana militer (47 kasus). Data Badan Pertanahan Nasional (BPN) menunjukkan, terdapat 2.810 kasus skala besar (nasional), 1.065 di antaranya masih ditangani pengadilan dan 1.432 kasus masih berstatus sengketa. Sekitar 322 kasus berpotensi memicu konflik kekerasan. Menurut Sri Hartati Samhadi dalam fokus Kompas 30 Juni 2007, Di perkotaan, sengketa tanah umumnya dipicu oleh meningkatnya arus urbanisasi, pembangunan proyek-proyek infrastruktur skala besar, politik pertanahan (seperti menggusur warga miskin perkotaan dari tanah berlokasi strategis untuk kepentingan pembangunan proyek- proyek komersial) banyak berakhir pada penggusuran paksa masyarakat miskin perkotaan. Di daerah kaya mineral, konflik terus terjadi antara masyarakat adat dan pemerintah atau perusahaan swasta pemegang konsesi, contohnya yang terjadi di Freeport (Papua) dan Caltex (Riau). Di wilayah transmigrasi, antara transmigran dan masyarakat lokal. Di kawasan kehutanan, antara BUMN atau perusahaan perkebunan besar dan masyarakat adat. Di pedesaan, alih fungsi lahan untuk proyek-proyek seperti waduk dan tempat latihan militer.


Lahan Luas untuk Pemilik Modal dan Konflik Agraria di Riau

Secara kepemilikan tanah di Indonesia, Menurut Serikat Tani Nasional (STN) mengatakan bahwa, peruntukan lahan bagi perkebunan skala besar jelas-jelas menumbuhkan penindasan struktural serta menjauhkan kaum tani dari kesejahteraan. Kita bisa melihat, betapa luasnya pemerintahan memberikan tanah-tanah yang mereka sebut dengan Hutan/Perkebunan Negara kepada perusahaan-perusahaan seperti; PT Freeport Indonesia yang mendapatkan jatah 202.380 ha areal hutan lindung di Papua, PT Inco Tbk menguasai 218.828 ha di Sulawesi Tengah, Tenggara dan Selatan, PT Aneka Tambang seluas 39.040 ha di Maluku dan 14.570 ha di Sulawesi Utara, PT Indominco Mandiri seluas 25,121 ha di Kalimantan Timur, PT Natarang Mining seluas 12.790 di Lampung, PT Nusa Halmahera Minerals di Maluku Utara seluas 29.622 ha, PT Pelsart Tambang Kencana seluas 201.000 ha di Kalimantan Selatan, PT Interex Sacra Raya seluas 13.650 ha di Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan, PT Weda Bay Nickel seluas 76.280 ha di Maluku Utara, PT Gag Nickel di Papua seluas 12.138 ha, dan PT Sorikmas Mining seluas 66.200 ha di Sumatera Utara, dan lain-lain.
Sementara itu di Riau, rezim Orde Baru membangun jaringan kekuasaan ekonominya di bawah kangkangan kapitalisme global dengan memberikan + 580.000 ha (Separuhnya diperuntukkan bagi HPH/TI PT. Arara Abadi, seluas hampir 300.000 ha) perkebunan pulp kepada 2 perusahaan dan diperkirakan memboyong 20 juta meter kubik kayu per tahunnya, atau setara dengan 91% dari total penebangan semua industri berbasis kayu di Indonesia. Sementara itu, menurut laporan Human Rigth Wacth tahun 2003 lalu, untuk PT. Caltex Pasifix Indonesia (CPI) atau PT. Chevron Pasific Indonesia (CPI) saja mendapatkan jatah seluas + 3,2 juta ha atau sekitar 32.000 KM. Lalu, 6 juta ha HPH di Riau merupakan milik kaum elit di luar Riau. Jika ditotalkan keseluruhannya, maka peruntukan lahan bagi perkebunan/industri kehutanan skala besar di Riau seluas 9,5 juta ha.
Kebijakan inilah kemudian yang ditengarai menyebabkan bencana dimana-mana, mulai dari bencana asap, banjir, konflik tanah, kemiskinan, dan lain sebagainya. Bencana asap misalnya, menurut Walhi Riau bersama LSM lingkungan lainnya bahwa periode Juli-Agustus 2006 telah teridentifikasi bahwa kebakaran terjadi di kawasan Hutan Tanaman Industri (HTI), Hutan Produksi (HPH), dan perkebunan Sawit di seluruh Riau, dengan rincian luasan terbakar HTI 47.186 ha, perkebunan Sawit 42.094 ha, HPH 39.055 ha, kawasan Gambut 91.198 ha, dan kawasan non-Gambut 82.503 ha. Inilah kemudian yang menjadi indikasi penyebab 12.000 orang terkena ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan), 3.000 orang terkena iritasi mata, 10.000 orang terkena diare dan mencret (Catatan Akhir Tahun 2006 JIKALAHARI). Ini tentunya belum termasuk kepada kerugian yang diderita oleh rakyat akibat banjir – diantaranya disebebkan oleh terlampau luasnya tanaman monokultur skala besar - yang menurut buku hitam WALHI Riau, pada tahun 2003 saja sebesar Rp. 793,3 milyar. Dan di tahun 2006, menurut Riau Pos dari akibat banjir yang melanda 3 kecamatan di kabupaten Kampar; Tambang, Tapung Hilir, dan Kampar Kiri mendera 3.000 jiwa lebih dan sedikitnya 50 orang meninggal dunia. Sementara itu belum lagi tanaman rakyat yang rusak. Ini tentunya tidak termasuk data kerugian akibat banjir yang menjarahi daerah Rokan Hulu, Pekanbaru, Kuansing, Bengkalis, dan lain-lain.
Kendati Kondisi Hutan Alam Riau sudah dalam keadaan kritis tahun 2004, namun ternyata eksploitasi hutan alam tetap berlangsung pesat sepanjang tahun 2005, baik yang dilakukan oleh Penebang liar (Illegal Logging) maupun oleh pemegang izin konsesi (Legal Logging). Keduanya sama-sama memberikan andil besar terhadap hilangnya tutupan hutan alam di Riau yang mengakibatkan Bencana Banjir dan Kabut Asap terjadi secara rutin pada tahun 2005. Pada akhir Tahun 2004 JIKALAHARI mencatat tutupan hutan alam Riau hanya tersisa seluas 3,21 juta hektar atau 35 % dari 8,98 juta hektar total luas daratan Provinsi Riau. Penurunan Luas Hutan Alam di Riau terjadi secara Drastis dari tahun 1984 ke tahun 2005 yaitu seluas 3 juta hektar, penurunan tertinggi terjadi antara tahun 1999 ke tahun 2000 yaitu seluas 840 ribu hektar. Berarti jika dirata-ratakan per tahun hutan alam Riau hilang seluas 150 ribu hektar.
Aktifitas Eksploitasi ini dipastikan akan terus berlanjut sepanjang tahun 2006 karena di atas Hutan Alam yang tersisa sebagian besar sudah dikuasai Perusahaan besar swasta bidang Perkebunan dan Hutan Tanaman Industri (HTI). Hasil analisis JIKALAHARI menemukan bahwa seluas 789.703 hektar dari Hutan Alam yang tersisa tahun 2004 sudah dikuasai untuk dieksplotasi oleh 2 group Perusahaan Bubur Kertas Riau yaitu APRIL (Asia Pacific Resources International Ltd.) Induk PT. RAPP (Riau Andalan Pulp and Paper) seluas 278.371 hektar dan APP (Asia Pulp And Paper) Induk PT. IKPP (Indah Kiat Pulp and Paper) seluas 511.331 hektar beserta Perusahaan mitranya, dan seluas 390.471 hektar telah dikuasai oleh Perusahaan Perkebunan. Ini belum termasuk 19 Perusahaan HPH yang sekarang masih menguasai 834.249 hektar Hutan Alam dan Aktifitas Penebangan Liar yang sudah masuk dalam Kawasan Lindung.
Pada tanggal 14 Juni 2005 Pemerintah Pusat melalui Menteri Kehutanan M.S. Ka’ban telah membuat target pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI) di Indonesia hingga mencapai 5 Juta hektar HTI pada tahun 2009. Sementara hingga saat ini telah ada seluas 2,16 juta Hektar HTI yang sudah dibangun, berarti masih akan ada seluas 2,84 juta Hektar lagi HTI yang akan dibangun hingga tahun 2009. Untuk kontek Riau, Kebijakan ini patut dipertanyakan signifikansinya terhadap upaya penyelamatan Hutan Alam yang tersisa, karena keberadaan 2 Pabrik bubur Kertas (APRIL/RAPP dan APP/IKPP Group) di Riau yang mempunyai kapasitas produksi 4 Juta Ton per tahun dalam prakteknya tidak pernah serius menanam HTI untuk memenuhi kebutuhan Bahan Baku yang telah mencapai 18 juta meter kubik per tahun. Saat ini saja kedua Perusahaan Bubur Kertas dan mitranya telah mengantongi izin seluas masing-masing 1.137.028 Hektar untuk APP dan 681.778 Hektar untuk APRIL, sementara operasional kedua perusahaan ini sudah begitu lama (23 tahun IKPP dan 12 tahun RAPP) namun anehnya HTI yang berhasil mereka bangun baru mampu 30 % dari total kebutuhan kapasitas Industri terpasangnya 4 juta ton per tahun. Hal ini berarti kedua perusahaan ini bisa dikatakan gagal/tidak serius, dan hanya mau mengeksploitasi Hutan Alam untuk memenuhi kebutuhan bahan bakunya. Tidak hanya itu, kedua perusahaan ini juga kerap menghalalkan segala cara untuk mendapatkan kayu alam, dan terus mengajukan izin perluasan konsesi di atas Hutan Alam. APRIL misalnya, saat ini masih terus giat melobby Pemerintah untuk dapat menguasai Hutan Alam Gambut Dalam di Semenanjung Kampar dan Pulau Padang seluas 215.790 ha untuk dieksploitasi Kayu Alamnya.
Menurut JIKALAHARI pada tahun 2001-2003 APP dan APRIL juga memanfaatkan secara maksimal kewenangan Kepala Daerah dalam mengeluarkan izin HTI atau IUPHHK-HT dengan menggunakan mitra-mitranya untuk mendapatkan izin eksploitasi Hutan Alam. Bahkan hingga dicabutnya kewenangan Kepala Daerah pada awal 2002 melalui Kepmenhut 541/KPTS-II/2002 tanggal 21 Februari dan diperkuat dengan PP 34 tahun 2002 tanggal 8 juni 2002, mitra-mitra APP dan APRIL tetap mendapatkan izin-izin baru di atas Hutan Alam. JIKALAHARI mencatat ada 34 IUPHHK-HT yang masih dikeluarkan 4 bupati (Inhil, Inhu, Siak dan Pelalawan) dan Gubernur Riau sampai awal 2003. Izin ini jelas telah cacat Hukum, namun baik APP dan APRIL yang menerima kayunya maupun Kepala Daerah yang mengeluarkan Izin seolah-olah tutup mata, penebangan kayu alam terus berlanjut. Hingga pada tanggal 15 Januari 2005 Menteri Kehutanan M.S. Ka’ban mengeluarkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.03/Menhut-II/2005 dan diteruskan dengan surat edaran ke Gubernur se Indonesia tanggal 25 Februari 2005 yang pada intinya menegaskan bahwa semua IPHHK-HT yang pernah dikeluarkan Kepala Daerah akan dilakukan Verifikasi mengingat kewenangan Kepala Daerah telah dicabut. Menjelang akhir tahun 2005 tim verifikasi bentukan Menteri Kehutanan ini dikabarkan telah turun ke kabupaten Pelalawan, namun apakah hasil verifikasinya menyatakan 21 IUPHHK-HT cacat hukum atau tidak hingga kini belum jelas.
Secara logis, sempitnya lahan produksi, yang mengakibatkan rakyat tidak sanggup lagi mempertahankan hidup secara layak. Rakyat Sialang Rimbun misalnya, hanya mampu mengonsumsi Ubi untuk makanan sehari-harinya, dan sedikit saja dari mereka yang sanggup membeli beras. Inilah hasil dari istilah Pembangunanisme kapitalisme-neoliberal yang dikoar-koarkan pemerintahan SBY-Kalla serta ditindaklanjuti oleh Rusli Zainal. Program-program palsu, lips servis, entah apalagi namanya. Pembangunan yang bisa dikatakan tidak mampu mengaliri sebagian desa di kecamatan Pinggir dengan listrik.
Sempitnya lahan pertanian yang mengakibatkan rendahnya pendapatan rakyat, seperti yang sudah kami tegaskan diatas, adalah hasil perasan dari kebijakan pemberian izin pengelolaan hutan/perkebunan secara besar-besaran, seperti PT. Arara Abadi, yang dalam catatan Human Rigth Wacth sudah banyak memakan korban. Mulai di kabupaten Pelalawan, Kampar, Siak, hingga Bengkalis.
Inilah kemudian yang melahirkan bentuk-bentuk perlawanan rakyat petani berbagai tempat di Riau. Untuk kasus PT. Arara abadi misalnya, sudah banyak korban yang berjatuhan seperti bentrokan antara rakyat angkasa, Balam Merah di Kabupaten Pelalawan dengan perusahaan yang merupakan bagian dari Sinar Mas Group (SMG) itu tahun 2001, kasus Mandiangin (Kab. Siak) tahun 2003[1], kasus kec. Pinggir[2] (kab. Bengkalis) tahun 2005-2006, kasus Tapung (kab. Kampar) 2006, terbaru adalah kasus di Pinang Sebatang dan sei. Mandau (Akhir tahun 2006). Hal yang paling memiriskan dari kesimpulan pemerintahan di propinsi Riau adalah, selalu mengambil kebijakan stanvas bagi setiap kasus yang ada, bukan malah mengumpulkan data-data tersebut bagi alasan pencabutan SK Gubernur yang pernah dikeluarkan pada 9 Februari 1990. Dan kemudian, tahun 1996 Menteri Kehutanan pada tanggal 25 November 1996 mengeluarkan surat Pemberian Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri seluas 299.975 ha di Riau kepada PT. Arara Abadi. Surat tersebut bernomor 743/kpts-II/1996 - di Jakarta, isinya menyebutkan bahwa, surat tersebut merupakan surat balasan perusahaan tersebut mengenai permohonan penyediaan lahan untuk perkebunan yang dikirimkan kepada Gubernur Riau pada 7 Oktober 1989 bernomor 57/AIP/UM/-DL/X/89. Hal inilah kemudian yang menjadi dasar konflik agraria antara rakyat dengan perusahaan. Konflik yang memakan tanah adat, ulayat, perkebunan rakyat, bahkan hingga kepada samarnya batas desa, kampung, pekuburan, dan lain sebagainya.

Konflik Antara Masyarakat Riau di beberapa Kabupaten dengan PT. Arara Abadi; Sebuah Catatan Penting
Menurut data yang disampaikan oleh Human Rigth Watch pada 20 Februari 2001 lalu, bahwa Asia Pulp & Paper dari Sinar Mas Group telah memimpin pertumbuhan yang luar biasa ini sebagai produsen terbesar di Indonesia, menghasilkan setengah dari seluruh produksi pulp dan seperempat dari kertas di negara ini[3]. Dengan total kapasitas pulp saat ini sebesar 2,3 juta metrik ton dan kapasitas pengemasan sebesar 5,7 juta metrik ton, Indonesia menempati urutan pertama di antara negara-negara Asia selain Jepang, dan urutan kesepuluh dalam produksi dunia, setelah raksasa-raksasa seperti International Paper, Enso, Georgia Pacific dan UPM Kymmene. Berkantor pusat di Singapura, saat ini APP memiliki 16 fasilitas pabrik di Indonesia dan Cina dan memasarkan produknya di lebih dari 65 negara di enam benua[4]. Pabrik APP Indah Kiat di Perawang, Riau, adalah salah satu dari dua pabrik kertas terbesar di dunia[5]. Indah Kiat sendiri memiliki kapasitas produksi sebesar 2 juta ton pulp dan 1,5 juta ton kertas per tahun, yang telah meningkat pesat dari hanya 120.000 ton pada tahun 1989[6].
Serat kayu untuk pabrik Indah Kiat dipasok oleh Arara Abadi, yang adalah anak perusahaan Sinar Mas Group, konglomerat yang memiliki APP. Arara Abadi adalah salah satu perkebunan kayu pulp terbesar di Indonesia, yang menguasai konsesi 300.000 hektar di Riau. Peralihan hak atas lahan masyarakat tanpa proses seharusnya atau tanpa ganti rugi yang adil dan tepat waktu merupakan faktor utama yang mendorong perselisihan dan kekerasan antara Arara Abadi dan masyarakat sekitarnya.
Peraturan pemerintah provinsi yang dibuat bahkan pada saat awal pengembangan konsesi perkebunan mengharuskan lahan yang digunakan untuk usaha tani masyarakat dan produksi karet dikeluarkan dari areal kerja HTI[7]. Tahun lalu, sebuah survei telah dilaksanakan di kecamatan Bunut (Kabupaten Pelalawan, di mana desa Betung, Angkasa dan Belam Merah berada. Lihat Peta B)[8] oleh tim gabungan yang terdiri dari berbagai pihak yang berkepentingan, termasuk perwakilan dari pemerintah lokal, berbagai LSM, para pemimpin masyarakat lokal, dan Arara Abadi, untuk menentukan luas lahan di dalam kawasan HTI yang diklaim oleh masyarakat lokal. Meskipun areal yang diteliti hanya sebagian kecil saja dari kawasan milik Arara Abadi, survei tersebut menemukan kira-kira 20.000 hektar lahan yang diklaim oleh masyarakat. Fakta bahwa survei kepemilikan lahan secara sistematis dan menyeluruh belum pernah dilakukan merupakan indikasi kegagalan pemerintah dalam menegakkan hak-hak asasi: hukum Indonesia mengharuskan lahan yang diklaim pihak ketiga dikeluarkan dari konsesi hutan.
Catatan Arara Abadi menunjukkan bahwa 113.595 hektar lahan konsesinya telah dikalim oleh masyarakat lokal. Walaupun perusahaan ini menegaskan bahwa setengah dari kasus-kasus ini telah diselesaikan, mereka mengakui bahwa 57.000 hektar masih dalam sengketa. Akan tetapi, perusahaan ini tidak memberi rincian yang terkait dengan penyelesaian yang dilakukan atau lokasi lahan yang dituntut, sehingga tidak mungkin melakukan pemeriksaan silang tentang kemungkinan klaim-klaim ini saling tumpang tindih dengan yang ditemukan oleh tim gabungan tersebut[9].
Seperti polisi provinsi, para pejabat APP bersikeras bahwa Arara Abadi telah menerima konsesi yang sah dari pemerintah Indonesia. Selain itu karena penduduk lokal tidak memiliki surat kepemilikan resmi atas lahan tersebut, maka mereka tidak mempunyai hak yang sah[10]. Direktur Arara Abadi mengakui bahwa hampir semua masalah keamanan mereka bukan bersumber dari "penebangan liar" seperti yang berulang-ulang ditegaskan oleh berbagai perwakilan, tetapi dari berbagai tuntutan hak atas lahan tradisional oleh masyarakat lokal.
Sebenarnya, hampir semua masalah keamanan kami berasal dari masyarakat lokal. Mereka memiliki hak ulayat. Reformasi telah membangkitkan rasa kepemilikan dan keberanian masyarakat dalam mengajukan tuntutan meskipun mereka tidak mempunyai dokumen resmi. Kadang-kadang pemerintah mengirim seorang penengah (mediator), tetapi ganti ruginya sering terlalu mahal[11].
Komentar ini mengungkapkan beberapa hal. Pertama, mereka menjelaskan bahwa istilah "penebangan liar" yang tidak tepat sering digunakan untuk mengaburkan tuntutan hak atas lahan masyarakat dan membuat keluhan-keluhan sah dan perlu dinegoisasikan menjadi seperti kegiatan kriminal. Hal ini merupakan faktor yang mendorong konflik-konflik di Angkasa/Belam Merah dan Mandiangin yang diuraikan di bawa. Kedua, pengamatan bahwa reformasi telah membuat masyarakat menjadi "lebih berani" dalam mendesakkan tuntutan mereka merupakan tanda betapa besarnya rasa takut masyarakat akibat diintimidasi di masa lampau. Ketiga, komentar pejabat tersebut menegaskan status kelas dua hak masyarakat asli, meskipun diakui oleh undang-undang. Pejabat Arara Abadi tersebut jelas menyadari bahwa masyarakat mempunyai hak ulayat[12], tetapi secara tidak langsung menyatakan bahwa akhirnya biaya ganti rugilah yang menentukan apakah hak-hak ini akan diakui atau tidak.
Walaupun Indonesia mengakui hak ulayat dalam undang-undangnya, proses resmi bagi masyarakat lokal untuk mengajukan tuntutan atas lahan belum ada. Berhadapan dengan staf perusahaan dan pegawai pemerintahan lokal yang tidak responsif dan tidak dapat diminta pertanggung gugatannya, masyarakat mungkin mencoba mengajukan kasusnya ke pengadilan. Namuan praktik korupsi dan penyuapan yang harus dilakukan menyebabkan cara ini menjadi tidak praktis bagi masyarakat lokal yang miskin dalam usaha mencari keadilan. Bahkan, perusahaan-perusahaan mengeluh bahwa pengadilan yang korup kadang-kadang meminta mereka memberi ganti rugi kepada penuntut yang tidak sah. Dalam ulasannya pada bulan Juni tahun 2002 mengenai sistem pengadilan di Indonesia, seorang Utusan Khusus tentang Kemandirian Hakim dan Pengacara (Special Rapporteur on the Independence of Judges and Lawyers) dengan terkejut menyimpulkan bahwa ia "tidak menyadari betapa korupsi sudah sedemikian merasuk ke semua sendi.[13]" Penilaian ini dikuatkan oleh laporan penelitian yang rinci tentang sistem pengadilan yang disusun oleh Indonesian Corruption Watch. LSM independen ini mendokumentasikan korupsi dan penerimaan suap di semua tingkat proses pengadilan[14].
Karena tidak memperoleh surat kepemilikan dan sistem peradilan yang ada tidak menolong mereka, masyarakat lokal mempunyai beberapa cara untuk membuat pengaduan mereka didengar, dan pengaduan secara informal yang disampaikan ke para pejabat lokal sering dibubarkan oleh pihak yang berwajib, sehingga masyarakat lokal menjadi lebih tersingkir. Seperti yang dikatakan secara terbuka oleh pejabat polisi provinsi,
OK, mungkin kadang-kadang lahan disita tanpa diberi ganti rugi. Tetapi jika mereka tidak mempunyai surat-surat bukti kepemilikan, maka mereka tidak mempunyai hak sama sekali. Kebanyakan mereka tidak mempunyai surat bukti kepemilikan. Apa bukti tuntutan mereka? Jadi mereka tidak berhak atas apapun[15].
Lahan Arara Abadi yang luas tidak saja dirampas dari penguasaan lokal. Hutan alamnya juga dibabat habis, yang sebelumnya digunakan secara tradisional oleh masyarakat sekitar untuk usahatani lokal dan pengumpulan hasil hutan, termasuk pohon madu yang berharga secara ekonomi dan budaya yang terdapat di hutan alam, yang kepemilikannya diwariskan dari generasi ke generasi. Kebun buah-buahan dan pohon karet masyarakat juga dibabat. Lahan luas yang dikuasai untuk HTI pulp, digabung dengan konsesi-konsesi yang luas milik perkebunan pulp terbesar kedua di Indonesia, ditambah dengan konsesi-konsesi penebangan dan perkebunan kelapa sawit-menyisakan sedikit lahan yang dapat digunakan untuk memperoleh sumber penghidupan tradisional yang bergantung pada hutan (Peta B menunjukkan seluruh wilayah konsesi). Peraturan pemerintah mengharuskan semua lokasi dan ladang desa dihilangkan dari wilayah kerja HTI, dan penanaman tidak diizinkan dalam jarak 1,5 km dari desa-desa atau jalan[16]. Namun demikian, pohon-pohon akasia sudah biasa ditanam hingga ke pinggir jalan, dan di beberapa desa, hingga ke pintu dapur rumah-rumah penduduk desa. Seorang pria mengeluh, "Kalau kami ingin membangun kakus, kami harus menebang pohon akasia.[17]"
Kenyataannya, perluasan APP/Sinar Mas Group yang dibiayai dari hutang telah menghasilkan pasokan serat kayu yang melampaui pasokan kayu dari perkebunan akasia dan hutan alam yang tersedia dalam konsesi Arara Abadi. Akibatnya APP/SMG harus membeli dari hutan alam tebang habis di luar wilayah konsesinya yang sudah sangat luas[18]. APP/SMG mengakui ketergantungannya pada pembukaan hutan alam untuk memenuhi kebutuhan pabrik: angka-angka yang dilaporkan APP/SMG kepada Human Rights Watch menunjukkan bahwa saat ini pabrik APP, PT Indah Kiat, di Perawang mengunakan kayu seperti itu untuk memenuhi 65 persen dari kebutuhan kayunya-dari total 9,8 juta ton per tahun-saat ini, dari jumlah itu, 25 persen berasal dari luar wilayah konsesinya (meskipun kritikus menyatakan angka itu mendekati 50 persen)[19].
Saat ini, konsesi Arara Abadi meliputi 6 kabupaten. Pada saat dikeluarkan di akhir tahun 1980-an, HTI ini merupakan salah satu yang terbesar di Indonesia. Akan tetapi, pada bulan Oktober tahun 2001, Arara Abadi mengumumkan keinginannya untuk memperluas areal operasinya sebesar dua-pertiga, yang berarti tambahan penebangan seluas 190.000 hektar hutan alam dalam lima tahun berikutnya untuk memasok kapasitas pabrik Indah Kiat Riau yang diperbesar[20]. Perluasan ini akan dilaksanakan melalui "usaha bersama" dengan rekan-rekan yang tidak ditentukan dan di bawah persyaratan yang tidak ditentukan. Lagipula, untuk memenuhi peningkatan kebutuhan akibat peningkatan kapasitas produksi, APP/Sinar Mas Group berencana untuk melipatduakan luas hutan alam yang akan dibabat dalam lima tahun mendatang.
Sekarang ini, insentif ekonomi menjadi tidak layak bagi APP dan pabrik-pabrik pulp di seluruh Indonesia untuk melanjutkan perluasan kapasitas yang berlebihan dan ketergantungan terhadap pembabatan hutan alam, dan tekanan keuangan yang kuat akibat biaya pabrik yang sangat besar dan hutang yang berasal dari kelompok kreditor (saat ini sebagian di antaranya menuntut APP untuk membayar kembali melalui proses litigasi) untuk melanjutkan penghematan dan meningkatkan produksi, tanpa memperhatikan konsekuensi terhadap hak-hak asasi dan lingkungan. Insentif seperti ini, terutama di saat peraturan yang efektif masih tetap tidak ada, akan tetap mengancam hak-hak asasi anggota masyarakat lokal. (untuk lebih jelas mengenai data-data sementara sengketa agraria antara rakyat dengan PT. Arara Abadi, silahkan melihat bundle yang telah kami siapkan. Bahan ini terdapat pada daerah Siak, Bengkalis, dan Kampar).

Belajar dari Dusun Suluk Bongkal.
Secara historis, catatan yang kami peroleh tentang bahwa dusun Suluk Bongkal termasuk dalam Besluit yang dipetakan sejak Belanda menjalin kerjasama dengan kerajaan Siak, diperkirakan tahun 1940. Sekitar tahun 1959, dibuatlah peta yang mempunyai ketentuan pembagian wilayah memiliki hutan tanah ulayat batin (keabsahan suku Sakai) termasuk didalamnya wilayah Suluk Bongkal. Setelah sekian lama masyarakat Suluk Bongal hidup berdampingan dengan suku-suku lain di dusunnya, sejak diterbitkannya Surat Keputusan Menteri Kehutanan dimaksud, konflik pun mulai mencuat, dan beberapa masyarakat dusun terpaksa pindah, karena tidak tahan lagi dengan pola kekerasan yang dilakukan oleh 911 selaku pengaman asset perusahaan.
Perlu kami sampaikan bahwa, sah-sah saja PT. Arara Abadi menegaskan kepada publik mereka memiliki Surat Keputusan (SK) Menteri Kehutanan nomor 743/Kpts-II/1996 tentang PEMBERIAN HAK PENGUSAHAAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI ATAS AREAL HUTAN SELUAS ± 299.975 (DUA RATUS SEMBILAN PULUH SEMBILAN RIBU SEMBILAN RATUS TUJUH PULUH LIMA) HEKTAR DI PROPINSI DAERAH TINGKAT I RIAU KEPADA PT. ARARA ABADI. Perlu kami sampaikan disini pokok-pokok yang tertuang dalam SK tersebut adalah:
Ketetapan pertama point kedua disebutkan:
“Luas dan letak definitif areal kerja Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri (HPHTI) ditetapkan oleh Departemen Kehutanan setelah dilaksanakan pengukuran dan penataan batas di lapangan.” Persoalannya kemudian adalah, kami belum mendapatkan satu info pun tentang sosialisasi hasil pengukuran dan penataan batas di lapangan, terkait SK tersebut.
Dalam ketetapan kedua yang memuat kewajiban-kewajiban perusahaan diantaranya:
· Point kedua Melaksanakan penataan batas areal kerjanya selambat-lambatnya 2 (dua) tahun sejak ditetapkan Keputusan ini. Faktanya kemudian adalah, kami belum pernah mendapati tentang areal batas kerja yang dimaksud, tertuang dalam sebuah surat yang dipublikasikan secara umum untuk diketahui khalayak ramai. Jika penataannya ditegaskan 2 tahun setelah SK ditetapkan, maka tentunya tahun 1998, PT Arara Abdi telah menyelesaikan seluruh proses inclaving terhadap kawasan yang telah dihuni masyarakat jauh sebelum mereka ada.

Dalam ketetapan keempat dimuat:
1. Apabila di dalam areal Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri (HPHTI) terdapat lahan yang telah menjadi tanah milik, perkampungan, tegalan, persawahan atau telah diduduki dan digarap oleh pihak ketiga, maka lahan tersebut dikeluarkan dari areal kerja Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri (HPHTI).
2. Apabila lahan tersebut ayat 1 (satu) dikehendaki untuk dijadikan areal Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri (HPHTI), maka penyelesaiannya dilakukan oleh PT. ARARA ABADI dengan pihak-pihak yang bersangkutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan-undangan yang berlaku.

Selanjutnya, perusahaan juga mempunyai kewajiban yang ditetapkan pada ketentuan III:
A.1. diungkapkan bahwa, perusahaan wajib memperhatikan atau mengambil langkah-langkah secara maksimal untuk menjamin keselamatan umum karyawan dan atau orang lain yang berada dalam areal kerjanya. Bahwa, banjir yang diakibatkan oleh areal perusahaan yang tidak dirawat - ditandai dengan desa yang berada dalam kawasan HPH/TI PT Arara Abadi sering kebanjiran – adalah bukti kelalaian yang dapat mencelakakan orang. Banjir diduga disebabkan karena sedikitnya hutan penyanggah yang disisakan, serta tidak tepatnya perencanaan pembangunan (tidak seimbangnya antara pembangunan hulu dan hilir). Bukan semata-mata karena alamiah, melainkan karena prilaku manusia.
B.1. Perusahaan DIWAJIBKAN juga untuk membangun tempat ibadah-ibadah, pendidikan, kesehatan.
Terjemahan ketetapan tersebut menurut Serikat Tani Riau (STR) adalah, perusahaan dalam implementasi kebijakan Menteri Kehutanan, pastilah mendapati kenyataan adanya hal-hal yang sudah dikuasai masyarakat jauh sebelum SK dikeluarkan. Konsekuensinya, perusahaan tidak dapat melakukan klaim bahwa kawasan yang sudah dikuasai masyarakat merupakan areal HPH/TI nya, dan ada tuntutan jumlah tersebut mesti dikuarngi dengan areal yang sudah dikuasai oleh masyarakat. Dalam berita yang menyebutkan bahwa SK tersebut berlaku surut ke tahun 1991, STR menadapati informasi dari seseorang di desa Mandiangin bahwa, dianya menyaksikan pengerjaan kawasan di desanya sejak tahun 1984an dengan perusahaan yang berbeda, namun kemudian diketahui mempunyai lokus pengerjaan yang sama dengan PT. Arara Abadi. Meskipun STR hingga kini masih berusaha menemukan bukti-bukti apakah informasi ini dapat dipertanggungjawakan apa tidak. Dilain sisi, STR juga menemukan fakta bahwa, Dusun Suluk Bongkal, merupakan dusun Tua yang sudah ada sejak dahulu. Beberapa anggota STR yang sekarang sudah berumur kurang lebih 40 tahun, mengaku lahir dan dibesarkan di dusun tersebut. Kemudian, karena satu hal mereka berpindah untuk sementara. Jika misalnya, pengukuhan dusun Suluk Bongkal yang diakui oleh Bupati Bengkalis dengan luas 4.586 hektar (tertuang dalam lembaran Pemerintahan Kabupaten Bengkalis no. 0817-22 0817-31.0618-54 0616 63), maka timbul pertanyaan di benak kami, bahwa dimakah letak dusun tersebut? Ini adalah salah satu fakta dari sekian banyak fakta yang kami punya serta sedang kami selidiki kebenarannya. Jadi, tuduhan sepihak yang dilakukan oleh PT Arara Abadi bahwa masyarakat melakukan perambahan hutan milik Negara, itu tidaklah benar. Karena ada instruksi inclaving yang tidak pernah diungkap oleh perusahaan terebut. Sebagai bukti pengakuan mesti dikeluarkannya areal milik masyarakat, kami menduga bahwa perusahaan belum pernah melakukan inclaving di dusun Suluk Bongkal (atau bahkan bisa saja di desa atau dusun-dusun lainnya) sebagai mana yang dikehendaki oleh Surat Keputusan Menteri tersebut. Ini belum termasuk dengan perkebunan, perladangan, kuburan, dan lan sebagainya sesuai dengan garis yang sudah ditetapkan oleh SK dimaksud.
Lalu timbulah beberapa persoalan paska membesarnya gerakan STR dan membuka mata pejabat pemerintahan bahwa, masih terdapat kelemahan-kelemahan – bahkan kelalaian – dalam menangani perkara agraria, sehingga menjadi sangat rumit bentuk penyelesaiannya. Beberapa perosoalan dimaksud adalah:
1. Bahwa penyelesaian konflik yang seharusnya dilakukan oleh Pemerintahan Propinsi, diserahkan kepada pemerintahan Kabupaten. Amat benar bahwa dalam Peraturan Presiden no. 34 tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan pada pasal 2 ayat 1 dan 2 diungkapkan bahwa “Sebagian kewenangan Pemerintah di bidang pertanahan dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota.” Kemudian ditegaskan bahwa salah satu kewenangan sebagaimana dimaksud adalah penyelesaian sengketa tanah garapan. Namun mesti diingat, bahwa dalam ayat 3 dijelaskan bahwa Kewenangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) yang bersifat lintas Kabupaten/Kota dalam satu Propinsi, dilaksanakan oleh Pemerintah Propinsi yang bersangkutan. Bahwa, STR mempunyai pendapat, HPH/TI PT. Arara Abadi yang areal perkebunannya terletak di 5 kabupaten dan 1 kota di Propinsi Riau – sekarang meliputi; Siak, Bengkalis, Kampar, Pelalawan, Rohil, dan Pekanbaru – penyelsaian konfliknya mestilah diselesaikan oleh Pemerintah Propinsi. Karena, SK tersebut merupakan satu kesatuan utuh yang tidak dapat dipish-pisahkan dan terletak di lintas kabupaten/kota. Makanya sangatlah tidak tepat jika penyelesaiannya diserahkan kepada pemerintah kabupaten/kota. Bahwa DPRD Riau telah berjanji – berulang memberika janji-janji – untuk membentuk panitia khusus penyelesaian konflik agraria, namun hingga sekarang janji-janji tersebut tidak kunjung terbukti. Dalam rangkaian surat Gubernur Riau nomor 100/PH/13.06, 100/PH/14.06, 100/PH/15.06 disebutkan bahwa invetarisasi dlakukan oleh pemerintahan dan perusahaan. Ketiga surat tersebut seakan tidak memberikan tempat kepada masyarakat untuk juga melakukan inventarisasi. Jika perusahaan diberikan jalan untuk melakukan inventarisasi, mengapa masyarakat tidak diberikan jalan yang sama? Bukankah yang bersengketa dalam hal ini adalah masyarakat dan perusahaan?
2. Bahwa benar hanya sebagian masyarakat yang mempunyai surat-surat resmi kepemilikan. Namun mesti diingat, perladangan mayarakat hanya dibuktikan dengan kapan dia mulai membuka lahan terlantar dan dikerjakan. Behitulah berlakunya hokum yang berlaku di Negara kita. Perladangan yang dulunya dikelola oleh masyarakat asli, kemudian dikelola dan dengan catatan keberadaan yang lama – bahkan diatas 20 tahun – adalah sebuah benda/kawasan/daerah garapan yang bisa menjadi hak kelolanya.
3. Bahwa isu yang beredar sekarang ini adalah, STR melakukan mobilisasi masyarakat pendatang untuk ikut campur dalam persoalan konflik ini. Yang benar dan perlu kami tegaskan disini adalah, keterlibatan masyarakat pendatang – yang sebenarnya sudah lama tinggal di sekitar daerah konflik atau berlainan desa – adalah dengan sepengetahuan, bahkan permintaan dari masyarakat korban konflik. Adalah diatur dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga STR prinsip-prinsip solidaritas perjuangan. Karena keterlibatannya adalah atas permintaan korban konflik, maka bisa dikatakan masyarakat korban konflik memberikan mandate langsung kepada mereka untuk ikut dan terlbat dalam perjuangan. Termasuk juga pendirian rumah-rumah yang ada di Suluk Bongkal, merupakan sepengetahuan dan permintaan langsung apparatus dusun, agar dusun kembali ramai – layaknya sebuah dusun – dan infrastrukturnya segera terbangun. Apa yang didapat dari kebersamaan ini? Bukankah belum ada warga Suluk Bongkal yang memnggugat keberadaan pendatang? Karena apa? Karena memang mereka sendiri yang meminta kehadiran masyarakat pendatang ini, yang dahulunya tinggal di desa tetangga. Dan sejak itulah kini Suluk Bongkal sudah kembali menjadi layaknya sebuah dusun dan telah ada sekolah darurat berdiri disana. Intinya, jika pemerintahan mengakui wilayah Suluk Bongkal merupakan sebuah dusun, mengapa saat PT. Arara Abadi menanami dusun dengan akasia dan banyak masyarakat memprotesnya sebelum tahun 2000an, tidak ada upaya penegasan dari pemerintah untuk melarang penanaman akasia dimaksud. Ingat, mempertahankan sebuah wilayah, walau itu berupa dusun seluas 4.586 ha merupakan kewajiban seluruh apparatus pemerinatahan mulai dari presiden hingga pejabat RT sekali pun dan masyarakat Indonesia.

PT. Arara Abadi Vs Masyarakat
Dalam catatan Serikat Tani Riau sengketa agraria antara PT. Arara Abadi dengan masyarakat di terjadi diseluruh Kabupaten yang termasuk dalam areal yang diberikan melalui SK Menhut No : 743/kpts-II/1996. persengketaan lahan ini kerap kali membuat masyarakat pedesaan di areal tersebut harus berhadapan dengan kekerasan. Upaya represif pun tak jarang dilakukan oleh perusahaan dengan misalnya mengerahkan pasukan pengamannya (security 911) untuk menakut-nakuti masyarakat, dengan misalnya mengancam untuk nantinya ditangkap karena izin perusahaan didapat dari menteri kehutanan, menyurati untuk mengosongkan lahan dan rumah, merusak asset yang dimiliki masyarakat sampai pada pemukulan-tindakan kriminalitas lainnya.
Padahal sebagai pemegang izin PT. Arara Abadi haruslah mentaati seluruh aturan yang telah dibuat sebagaimana yang telah kami terangkan diatas baik dalam pengembangan masyarakat maupun harus memberikan pelayanan yang layak terhadap masyarakat disekitar areal kerja perusahaan. Banyak upaya yang telah dilakukan dalam menyikapi persoalan ini, mulai dari musyawarah yang difasilitasi pemerintah desa, pemerintah kecamatan dengan melibatkan seluruh elemen yang terkait namun seluru kesepakatan hanya menjadi coretan yang tak berharga. Kesepakatan dilanggar dan persengketaan berlanjut tanpa muara. Ironisnya pemerintah Kabupaten dan Provinsi pun belum menampakkan keinginan yang serius dalam upaya penyelesaian konflik agraria ini.
Tidak ada alasan sebenarnya perusahan untuk tidak melakukan enclave terhadap lahan yang dimiliki masyarakat dan atau mengeluarkan areal desa, tegalan, perkampungan. Misalnya kasus di Desa Tasik Serai dalam Peta Pembagian Kerja PT. Arara Abadi Distrik Duri – Resort Sebanga (tahun 1992)[21] telah tercantum lahan batas HPHTI PT. Arara Abadi, ladang Masyarakat namun realitas dilapangan adalah PT. Arara Abadi tetap melakukan proses penanaman pohon akasia sehingga menengarai sengketa agraria dengan masyarakat desa Tasik Serai yang hingga kini juga belum terselesaikan. Begitu juga yang terjadi di Desa Tasik Serai Timur dalam Peta Penyelesaian Masalah Perluasan Desa Tasik Serai tertanggal 7 Maret 1994[22] yang setelah pemekaran masuk dalam areal desa Tasik Serai Timur pun hingga kini tetap menjadi areal operasi perusahan. Inilah kemudian upaya penyelesaian sengketa agraria antara masyarakat dengan PT. Arara Abadi tak kunjung selesai. Perladangan masyarakat Desa Melibur yang telah sejak dulu menjadi sumber mata pencaharian (baca : alat produksi) masyarakat menjadi sasaran perusahan. Tanah ulayat masyarakat yang telah menjadi sumber pendapatan yang diperoleh melalui warisan masyarakat pendahulu menjadi tak berharga. Inilah yang harus dirasakan oleh masyarakat semenjak PT. Arara Abadi beroperasi.
Penyelesaian sengketa agrarian ini mestilah dilakukan secara komprehensif. Apa yang disimpulkan dalam kunjungan kerja DPD RI dalam rangka melanjutkan upaya yang dilakukan oleh BPN dan POLRI terkait sengketa tanah, yang menjadi penyebab rumitnya penyelesaian sengketa tanah tidak ditangani secara sistematik antara aturan dan kelembagaan serta belum adanya kebijakan politik pemerintah terkait hal ini.

Dari itu, upaya penangan konflik agrarian yang kami usulkan adalah :

1. Ukur ulang seluruh areal HPH/TI, HGU milik perusahaan swasta/pemerintah yang berkonflik dengan rakyat. Pengukuran ulang ini mesti melibatkan masyarakat korban konflik. Untuk Riau, pada tanggal 1 Mei 2007 lalu, Pemerintahan Riau melalui asistennya – Nasrun Efendi – telah mengatakan menganggarkan dana 9 Milyar Rupiah untuk pelaksanaan pengukuran ulang tersebut dan berjanji akan menyeleaikannya hingga akhir tahun 2007.
2. Cabut – minimal tinjau ulang – Izin HPH/TI, HGU bagi perusahaan yang melakkan pelanggaran (seperti illegal loging, tidak menepati batas waktu inclaving, dl). Karena ditengarai, hal inilah yang menyebabkan konflik berkepanjangan. Misalnya saja, PT. Arara Abdi menurut SK Menhut 743/kpts-II/1996 diberikan waktu untuk melakuakan penyelesaian inclaving 2 tahun setelah SK dikeluarkan. Namun hingga sekarang masih diindikasikan banyak wilayah yang belum mereka inclav, sehinga menyebabkan terjadinya sengketa agraria.
3. Pemerintah Daerah segera membuat Perda tentang Hak Ulayat dan Adat di Riau. Hal ini dikarekan masyarakat Riau mengakui Lembaga Adat Melayu Riau sebagai sandaran adat di Bumi Lancang Kuning ini.
4. Pemerintah Kabupaten/Kota yang terkait harus melakukan proses Identifikasi, Inventarisasi dan Rekonstruksi sesuai dengan keputusan menteri kehutanan No : S.319/MENHUT/V/2007 tentang persetujuan penyelesaian konflik agraria antara masyarakat dengan PT. Arara Abadi tertanggal 15 Mei 2007 yang ditujukan kepada Gubernur Riau menjawab surat Gubernur Riau No : 100/P.H. 13. 06 tertanggal 8 Maret 2007 yang ditujukan kepada Menteri Kehutanan RI. Proses tersebut juga dimuat dalam surat Guberbur Riau kepada Bupati Bengkalis, Kampar, Siak, Pelalawan, Rokan Hilir dan Walikota Pekanbaru, bernomor 100/P.H. 14. 06 tertanggal 8 Maret 2007.
5. Pemerintah Kabupaten/Kota melalui BPN dan Dinas Kehutanan mestilah benar-benar mencantumkan areal tegalan, persawahan-perladangan masyarakat, batas desa, serta tanah masyarakat dengan kongkrit didalam RTRWK. Agar nantinya tidak menjadi perdebatan yang tak kunjung bermuara antara kawasan hutan, kawasan lindung, kawasan pemukiman rakyat, kawasan desa, kawasan perladangan-perkebunan dan lain sebagainya guna memudahkan kita dalam mencari jalan penyelesaian sengketa agraria dan permasalahan lainnya yang diakibatkan dari pemberian izin kepda perusahaan dalam skala besar.
6. Tunda Revisi RTRWP Riau sebelum konflik agraria diselesaikan

Demikianlah eksplorasi yang dapat kami sampaikan persoalan sengketa agraria antara masyarakat dengan PT. Arara Abadi. Adalah sebuah cita-cita kita bersama sebagaimana amanat kemerdekaan Republik Indonesia untuk menciptakan tatanan masyarakat yang demokratik, berkeadilan sosial, serta berkedaulatan rakyat. Atas perhatiannya kami mengucapkan terimakasih.






[1] Untuk desa Mandiangin, dari investigasi STR terhadap sengketa antara masyarakat desa tersebut dengan PT. Arara Abadi diperkirakan didaerah, dusun Banjar, Banjar Lima, Tanah Bolang, Nangko Blantak, Guntung, Sei Jojab, Meranti Tinggi, Air Padang, Sei Lebui. Sementara itu, Desa Minas Barat dengan 20 titik konflik di Sungai Minas, Sungai Kili, Pangkalan Tua, Sungai Labuai, Utuh Ateh, Sungai Arang, Sungai Kiapah, Sungai Katuk, Sungai Menarah, Sungai Mandiangin, Air Jamban, Sungai rintis, Sungai Air Duri, Sungai Air Bekesik, Sungai Iar Balam, Sungai Kayu Apah, Sungai Tak Bedau, Sungai Kelabau
[2] Di Kecamatan Pinggir, untuk dusun Suluk Bongkal saja (desa Beringin), lahan konflik diperkirakan STR terdiri dari; Ponti Lipai, Selengkuk, Sialang Untuh, Sialang Sinapal, Gunung Melibur, Lubuk Tempalo, Buluh Apo.
[3] Diarmid O'Sullivan, "Indonesia: Tempting but not without Risks" Financial Times, Industry Surveys, World Paper and Pulp, http://specials.ft.com/ln/ftsurveys/industry/sc7bbe.htm (diambil pada tanggal 3 Oktober 2002).
[4] Asia Pulp & Paper (APP), http://www.asiapulppaper.com/content/about.asp?menu=1 (diambil pada tanggal 3 Oktober 2002); dan siaran pers yang dikirim melalui email kepada Human Rights Watch dari APP/Sinar Mas Group on 19 Juni 2002 (salinan file ada di Human Rights Watch).
[5] Riau Andalan Pulp & Paper (RAPP), milik keluarga konglomerat Tanoto (Raja Garuda Mas), yang juga terletak di Riau dan merupakan salah satu pesaing terbesar APP. RAPP juga terkait dengan PT Indah Kiat, pabrik pulp terbesar di dunia; tingkat produksi tahunan mencapai dua juta ton. RAPP seluruhnya dimiliki oleh sebuah induk perusahaan di Singapura, yaitu APRIL (Asia Pulp Resources International, Ltd).
[6] Barr, Banking on Sustainability.
[7] "Jika di dalam suatu kawasan konservasi terdapat lahan yang merupakan milik pribadi, la han desa, pekarangan atau sawah yang diolah oleh pihak ketiga, maka lahan ini harus dikeluarkan dari wilayah kerja suatu perkebunan. Jika lahan ini diinginkan oleh Arara Abadi, maka mereka harus menyelesaikannya dengan pihak-pihak yang terlibat sesuai dengan peraturan yang berlaku." Suar Keputusan Menteri Kehutanan SK No. 743 /KPTS-II/1996 (pasal 4, paragraf 1). Yang mesti diingat adalah, batas waktu inclaving yang diatur oleh SK tersebut selama 2 tahun dari dikeluarkannya Surat dimaksud.
[8] Survei yang dilakukan tidak mencakup semua wilayah kecamatan; hanya 14 desa yang disurvei. Tim Teknis Klarifikasi Penyelesaian Masalah PT Arara Abadi Dengan Masyarakat Petalangan, "Laporan Pelaksanaan Hasil Pengecekan Tata Batas Areal HPHTI PT Arara Abadi." Laporan survei tidak diterbitkan, Kantor Bupati Pelalawan, Riau, 1 Agustus 2001.
[9] "Land Ownership Disputes" (Rekapitulasi Maslah Lahan di Areal HPHTI PT Arara Abadi Distrik), dikutip dalam AMEC Simons Forest Industry Consulting, "APP Pulp Mills & Sinar Mas Group Forestry Companies: Preliminary Wood Supply Assessment," Document 2111 B1754aD10, 12 Oktober 2001, h. 32.
[10] Wawancara Human Rights Watch dengan staf pusat APP dan Arara Abadi, Tangerang, 13 Februari 2002; dan staf lapangan di Perawang, Riau, 14 Februari 2002
[11] Wawancara Human Rights Watch dengan Soebardjo, Direktur Arara Abadi, Tangerang, 13 Februari 2002 (Wawancara dilakukan dalam bahasa Inggris).
[12] Ia secara terang-terangan menyatakannya sebagai "hak ulayat", yang secara resmi digunakan dalam Undang-undang Pokok Agraria No. 5/1960 untuk mengakui hak masyarakat adat (salah satu Undang-udang yang dikerluarkan setelah Indonesia merdeka) . Lahan yang pemiliknya tidak diketahui atau tidak dapat dibuktikan dengan surat kepemilikan diperlakukan sebagai lahan negara. Namun peraturan pelaksanaan undang-undang ini tidak pernah dikeluarkan dan pengaruh undang-undang ini di lapangan sangat kecil karena sebagain masyarakat tidak pernah diberatahu bahwa mereka harus mengajukan permohonan untuk mendapatkan surat bukti hak kepemilikan.
[13] Derwin Pereira, "U.N. Condemns Indonesia's Justice" Straits Times, 23 Juli 2002.
[14] "Lifting the Lid on the Judicial `Mafia'," Indonesian Corruption Watch, Jakarta. 2002.
[15] Wawancara Human Rights Watch dengan pejabat tinggi kepolisian di tingkat provinsi, 19 Februari 2002.
[16] Surat Keputusan Menteri KehutananSK No. 743 /KPTS-II/1996, Surat Peraturan Bupati Kampar 21 November 1989.
[17] Aliansi Peduli Pelalawan (APPEL), Prahara Abadi? Buku Putih Peristiwa Penyerangan Massal Karyawan Pam Swakarsa PT Arara Abadi, (Pekanbaru, Riau: APPEL, Mei 2001).
[18] Barr, Banking on Sustainability.
[19] Barr, Banking on Sustainability.
[20] AMEC Simons Forestry Consulting, "APP Pulp Mills & Sinar Mas Group Forestry Companies: Preliminary Wood Supply Assessment," Document 2111 B1754aD10, 12 Oktober 2001.
[21] Sumber Peta : Peta Rupa Bumi Indonesia Skala 1 : 50.000 oleh Bakosurtanai, 1984, Peta Kerja PT. Arara Abadi 1 : 20.000 Distrik, Resort Melibur, Peta Satelit Image Map Indonesia Skala 1 : 100.000, 1 : 50.000, 1 : 20.000, Tahun 2002
[22] Ibid